Latar Belakang Politik Etis
Pada era kolonial, bangsa Indonesia dieksploitasi sumber dayanya, baik alam maupun manusia. Belanda melakukan apapun untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya dari Hindia Belanda. Salah satu kebijakan Belanda yang kontroversial dalam menjalankan ambisinya menguasai tanah air adalah dengan membuat kebijakan 'Tanam Paksa' atau dalam Bahasa Belanda Cultuurstelsel. Kebijakan ini mengharuskan rakyat Hindia Belanda pada saat itu untuk menanam jenis tanaman tertentu yang memiliki nilai ekspor, dan nantinya harus dijual ke Belanda. Besaran tanah yang wajib ditanami oleh tanaman nilai ekspor adalah sebanyak 20%. Jika penduduk tidak memiliki tanah, maka harus bekerja selama 75 hari di wilayah tanah milik pemerintah.
Akibat dari tanam paksa ini, banyak rakyat yang menderita, hidup tidak sejahtera, bahkan berada dibawah garis kemiskinan. Sedangkan pihak Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat banyak dari sistem tanam paksa tersebut. Beberapa politikus Belanda beraliran liberal mengkritik adanya tanam paksa, hal ini dikarenakan pemerintah Belanda hanya meraup keuntungan, dan tidak memikirkan dampak kemanusiaan bagi rakyat yang harus menaati sistem tanam paksa. Wartawan asal Belanda, Pieter Brooshooft dan politkus C.Th. van Deventer, adalah beberapa tokoh yang mengkritik eksploitasi Belanda di Hindia Belanda. Banyaknya rakyat yang terbelakang, membuat pemerintah Belanda tidak lagi tinggal diam, dan memunculkan sebuah sistem politik baru, yakni politik etis.
Politik Etis dan Penerapannya
Politik etis adalah politik balas budi. Politik etis maksudnya mengharuskan pemerintah kolonial untuk memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan rakyat kolonial. Usulan politik etis telah ada sejak tahun 1890-an, tetapi saat Ratu Wihelmina naik tahta pada tahun 1901, barulah sistem politik ini berjalan di Hindia Belanda. Sistem Politik Etis memiliki 3 program utama yang juga disebut sebagai Trias Van deventer. Trias Van deventer memiliki program (1) Irigasi, atau pengairan untuk tanah perkebunan dan pertanian, (2) Edukasi, atau pendidikan, (3) Transmigrasi, atau pemerataan penduduk.
Program irigasi yang dijalankan pada era politik etis berhasil membangun bendungan di sekitaran sungai Berantas dan wilayah Demak. Bendungan yang dibangun diperkirakan mampu menampung 96.000 liter air. Program pendidikan berhasil membuat sekolah-sekolah dari jenjang SD hingga Perguruan Tinggi. Sekolah Teknik ITB dibangun pada era ini menyusul adanya politik etis. Sedangkan transmigrasi, membuatkan program pemerataan penduduk, dimana penduduk di wilayah Jawa dikirim ke Sumatera dan Suriname (wilayah koloni Belanda di Amerika Selatan) untuk bekerja di perkebunan di area tersebut.
Pada era kolonial, bangsa Indonesia dieksploitasi sumber dayanya, baik alam maupun manusia. Belanda melakukan apapun untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya dari Hindia Belanda. Salah satu kebijakan Belanda yang kontroversial dalam menjalankan ambisinya menguasai tanah air adalah dengan membuat kebijakan 'Tanam Paksa' atau dalam Bahasa Belanda Cultuurstelsel. Kebijakan ini mengharuskan rakyat Hindia Belanda pada saat itu untuk menanam jenis tanaman tertentu yang memiliki nilai ekspor, dan nantinya harus dijual ke Belanda. Besaran tanah yang wajib ditanami oleh tanaman nilai ekspor adalah sebanyak 20%. Jika penduduk tidak memiliki tanah, maka harus bekerja selama 75 hari di wilayah tanah milik pemerintah.
Akibat dari tanam paksa ini, banyak rakyat yang menderita, hidup tidak sejahtera, bahkan berada dibawah garis kemiskinan. Sedangkan pihak Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat banyak dari sistem tanam paksa tersebut. Beberapa politikus Belanda beraliran liberal mengkritik adanya tanam paksa, hal ini dikarenakan pemerintah Belanda hanya meraup keuntungan, dan tidak memikirkan dampak kemanusiaan bagi rakyat yang harus menaati sistem tanam paksa. Wartawan asal Belanda, Pieter Brooshooft dan politkus C.Th. van Deventer, adalah beberapa tokoh yang mengkritik eksploitasi Belanda di Hindia Belanda. Banyaknya rakyat yang terbelakang, membuat pemerintah Belanda tidak lagi tinggal diam, dan memunculkan sebuah sistem politik baru, yakni politik etis.
Politik Etis dan Penerapannya
Politik etis adalah politik balas budi. Politik etis maksudnya mengharuskan pemerintah kolonial untuk memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan rakyat kolonial. Usulan politik etis telah ada sejak tahun 1890-an, tetapi saat Ratu Wihelmina naik tahta pada tahun 1901, barulah sistem politik ini berjalan di Hindia Belanda. Sistem Politik Etis memiliki 3 program utama yang juga disebut sebagai Trias Van deventer. Trias Van deventer memiliki program (1) Irigasi, atau pengairan untuk tanah perkebunan dan pertanian, (2) Edukasi, atau pendidikan, (3) Transmigrasi, atau pemerataan penduduk.
Program irigasi yang dijalankan pada era politik etis berhasil membangun bendungan di sekitaran sungai Berantas dan wilayah Demak. Bendungan yang dibangun diperkirakan mampu menampung 96.000 liter air. Program pendidikan berhasil membuat sekolah-sekolah dari jenjang SD hingga Perguruan Tinggi. Sekolah Teknik ITB dibangun pada era ini menyusul adanya politik etis. Sedangkan transmigrasi, membuatkan program pemerataan penduduk, dimana penduduk di wilayah Jawa dikirim ke Sumatera dan Suriname (wilayah koloni Belanda di Amerika Selatan) untuk bekerja di perkebunan di area tersebut.
Komentar
Posting Komentar