Dalam konstitusi di Indonesia, berlaku sebuah kewenangan bernama hak otonomi daerah. Otonomi daerah sendiri adalah wewenang setiap daerah untuk mengurus sendiri pemerintahan dan perundang-undangan di wilayah-wilayah tertentu. Meskipun memiliki kewenangan membuat peraturan tersendiri, daerah-daerah tersebut biasanya memiliki batasan-batasan tertentu yang ditetapkan oleh negara. Lanndasan mengenai Otonomi Daerah ada pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tetapi, beberapa kali UU ini mengalami revisi dan pembaruan. Landasan UU Otonomi Daerah yang berlaku untuk saat ini adalah UU Nomor 12 Tahun 2008.
Mengapa perlu hak otonomi daerah? Setiap daerah atau wilayah memiliki karakteristik rakyat yang berbeda dari banyak beragam bidang. Beberapa peraturan dari pemerintahan pusat di negara tidak bisa diterapkan di setiap daerah di seluruh negara. Hal ini sekali lagi karena kondisi daerah satu dengan yang lainnya tidak sama. Ada daerah yang sudah punya jalan beraspal di setiap sudut, ada pula daerah yang masih banyak jalan tidak beraspalnya.
Tujuan otonomi daerah adalah untuk kepentingan pemerataan masyarakat. Jika peraturan disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat, maka akan tercipta keadilan di daerah masyarakat tersebut. Dari segi politik, masyarakat akan diberdayakan untuk mengelola masyarakat dan juga sumber daya daerahnya tersebut. Apabila pengelola daerah tersebut adalah orang-orang dari daerah tersebut, maka pemanfaatan sumber daya akan lebih efektif.
Akibat adanya otonomi daerah, muncullah istilah Peraturan Daerah. Peraturan Daerah atau biasa dikenal sebagai Perda adalah peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat provinsi dan kota/kabupaten, dengan persetujuan Gubernur atau Wali Kota/Bupati. Pengertian Perda tertuang dalam UU Nomor 9 Tahun 2015--UU ini adalah yang berlaku untuk saat ini setelah berulang kali mengalami perbaruan dan revisi.
Contoh dari Perda adalah penetapan UMR atau Upah Minimum Regional. Di setiap daerah, UMRnya akan berbeda, menyusul bagaimana harga pasar dan biaya hidup di setiap daerah berbeda. Misalnya saja, di Jakarta UMR ditetapkan di angka 3.940.000. Sedangkan di Surabaya, ditetapkan UMR pada angka 3.871.000. Contoh lainnya adalah penerapan hukum syariat islam yang hanya berlaku di Provinsi Aceh. Di Sumatera Utara, provinsi yang paling berdekatan dengan Aceh tidak menggunakan hukum syariat islam, karena kultur masyarakatnya yang bukan mayoritas muslim.
Mengapa perlu hak otonomi daerah? Setiap daerah atau wilayah memiliki karakteristik rakyat yang berbeda dari banyak beragam bidang. Beberapa peraturan dari pemerintahan pusat di negara tidak bisa diterapkan di setiap daerah di seluruh negara. Hal ini sekali lagi karena kondisi daerah satu dengan yang lainnya tidak sama. Ada daerah yang sudah punya jalan beraspal di setiap sudut, ada pula daerah yang masih banyak jalan tidak beraspalnya.
Tujuan otonomi daerah adalah untuk kepentingan pemerataan masyarakat. Jika peraturan disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat, maka akan tercipta keadilan di daerah masyarakat tersebut. Dari segi politik, masyarakat akan diberdayakan untuk mengelola masyarakat dan juga sumber daya daerahnya tersebut. Apabila pengelola daerah tersebut adalah orang-orang dari daerah tersebut, maka pemanfaatan sumber daya akan lebih efektif.
Akibat adanya otonomi daerah, muncullah istilah Peraturan Daerah. Peraturan Daerah atau biasa dikenal sebagai Perda adalah peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat provinsi dan kota/kabupaten, dengan persetujuan Gubernur atau Wali Kota/Bupati. Pengertian Perda tertuang dalam UU Nomor 9 Tahun 2015--UU ini adalah yang berlaku untuk saat ini setelah berulang kali mengalami perbaruan dan revisi.
Contoh dari Perda adalah penetapan UMR atau Upah Minimum Regional. Di setiap daerah, UMRnya akan berbeda, menyusul bagaimana harga pasar dan biaya hidup di setiap daerah berbeda. Misalnya saja, di Jakarta UMR ditetapkan di angka 3.940.000. Sedangkan di Surabaya, ditetapkan UMR pada angka 3.871.000. Contoh lainnya adalah penerapan hukum syariat islam yang hanya berlaku di Provinsi Aceh. Di Sumatera Utara, provinsi yang paling berdekatan dengan Aceh tidak menggunakan hukum syariat islam, karena kultur masyarakatnya yang bukan mayoritas muslim.
Komentar
Posting Komentar